Kita teringat akan bendera Merah Putih yang dikibarkan di Hotel "Oranje" di Surabaya pada bulan September 1945: bendera itu juga lahir dari tindakan mencopot bagian yang tak dikehendaki dari tubuhnya. Tapi tak ada yang bolong yang menganga di sana. Identitas seakan-akan kian tegas: ini merah-putih, bukan merah-putih-biru.
Mungkinkah sebab itu revolusi Indonesia sering membuahkan salah sangka? Kita sering mengira kita adalah bangsa yang sudah jadi, lengkap, selesai mengartikulasikan diri - bahkan Muhammad Yamin pernah berteori bahwa Merah Putih sudah berumur 1.000 tahun sampai saat ia dikibarkan di abad ke-20. Tapi sejarah Merah Putih di Surabaya itu bukanlah sejarah mengulang yang telah pasti dan ajek.
Yang terjadi hari itu adalah tindakan kreatif yang berani - sebuah laku yang di tengah ketakpastian mengubah kondisi yang tersedia jadi sesuatu yang baru dan berarti. Seperti sepotong puisi.
Tapi kita tahu puisi tak henti-hentinya ditulis. Kata dan artikulasi yang siap kemarin tak lagi menampung getaran hati yang meluap hari ini. Maka klise pun ditanggalkan, percakapan kembali disegarkan sebuah metafor lain bagi ikhtiar terus-menerus untuk "mengisi kemerdekaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar